Minggu, 03 April 2011

[Essai] Kembali pada Buku

Kuberdiri di atas jalanan beraspal dengan udara yang berdebu. Memandang berkeliling, pada bangunan-bangunan rumah yang telah nyaris rata dengan tanah. Tanpa sadar, memoriku berflashback, mengajakku kembali pada detik-detik perjalanan hidupku dua puluh tahunan lalu. Ketika kaki-kaki kecilku mengayuh sepeda mini dengan riang, di bawah terik matahari yang semakin tinggi. Saat itu hari Senin atau Kamis, hari ketika aku bisa bercumbu dengan buku-buku selama beberapa jam sepulang sekolah.


Rasanya, hidungku masih bisa mengenang aroma yang khas itu. Bau apek buku yang lembaran-lembarannya telah mengusam atau robek karena terlalu sering berpindah tangan. Dan aku ingat, aku lebih suka mengendus buku baru, dengan sampul mika yang masih mengilat yang juga memiliki aroma yang khas. Juga kartu peminjaman berwarna hijau. Dan tentunya, ruangan kecil berukuran tak lebih dari 4x6 meter, dengan tumpukan buku-buku cerita yang selalu membuatku merasa “kelaparan”, ingin melahap semuanya.

Bangunan kecil sederhana itu berdiri di salah satu sudut kompleks perumahan yang posisinya sedikit menjorok ke dalam, bersebelahan dengan gedung besar tempat anak-anak berlatih tari Bali pada hari-hari tertentu. Letaknya tidak terlalu jauh dari landasan pacu Bandara Ngurah Rai Bali, dan aku ingat kerap bercengkerama dengan buku-buku di dalamnya, di tengah riuhnya suara pesawat yang hendak landing atau take off.

Aku tidak tahu siapa yang memelopori pendirian perpustakaan kecil itu. Yang jelas, plang di depannya bertuliskan “Perpustakaan Dharma Wanita”, dan ibuku yang anggota Dharma Wanita pernah berperan sebagai pengurus perpustakaan itu. Aku masih ingat pada tumpukan buku-buku yang kerap “transit” di rumahku—rumah dinas Ayah—untuk disampul dan ditempeli kode-kode khusus sebelum dibawa ke perpustakaan kecil itu. Maka aku bisa sepuasnya menciumi buku-buku itu karena, seperti kukatakan tadi, aku sangat suka aroma khas lembaran-lembaran buku baru.

Sejak kecil dikelilingi buku-buku, dari situlah kecintaanku pada buku mulai tumbuh. Tak heran, sejak kelas 1 SD, jemari mungilku telah akrab dengan kertas dan pena. Ya, tak sekadar suka membaca buku, aku mulai bercita-cita menjadi penulis. Aku ingat, ketika kelas 1 atau 2 SD Ayah memasukkanku ke sebuah sekolah musik, dan membelikanku alat musik organ. Alih-alih rajin berlatih musik dengan organ itu, aku malah lebih sering menjadikannya meja untuk menulis. Maklumlah, organ itu memang memiliki tutup yang bisa digeser menyelubungi tuts-tutsnya, dan beralih fungsi menjadi meja tulis yang sangat nyaman.

Ruangan kecil itu, perpustakaan sempit yang bahkan tak lebih luas dari 4x6 meter, sesungguhnya terlihat njomplang dengan bangunan-bangunan megah di sekelilingnya. Tapi aku bersyukur, masih ada yang peduli untuk mendirikan perpustakaan itu, dan masih ada yang peduli untuk menyisihkan dana mengadakan lomba-lomba terkait buku dan kepenulisan beberapa kali dalam setahun. Bekerjasama dengan perpustakaan daerah yang letaknya di jantung kota Denpasar, mereka mengadakan lomba-lomba minat baca khusus putra-putri pegawai PT (Persero) Angkasapura I, BUMN tempat ayahku bekerja. Lomba meringkas buku, lomba mengarang cerita, dan sejenisnya. Dan aku ingat selalu bersemangat mengikuti lomba-lomba itu, bahkan langganan menjadi juara.

Lomba-lomba kepenulisan itu terus berlanjut hingga aku duduk di kelas 6 SD. Saat itu, ayahku mulai ada rezeki untuk membeli komputer. Dan seiring perkembangan teknologi, persyaratan lomba mulai berubah, dari ditulis tangan menjadi wajib diketik. Betapa senangnya menari-narikan jemariku di atas keyboard komputer, dengan huruf-huruf cantik yang bisa diganti-ganti sesuai selera kita. Aku merasa seperti telah menjadi penulis profesional.

Saat duduk di bangku SMP, aku tak pernah lagi berkunjung ke perpustakaan itu, karena jadwal sekolahku berbentrokan dengan jadwal buka perpustakaan. Namun aku tetap bermimpi menjadi penulis. Aku mulai rajin menulis cerpen, walaupun banyak yang tak selesai, banyak yang berakhir di tong sampah, atau hilang tanpa kabar saat kukirim ke media. Saat aku duduk di bangku SMA, baru ada beberapa cerpenku yang dimuat di sejumlah majalah remaja nasional dan tabloid pelajar lokal.

Tanpa terasa, waktu terus berlari. Tibalah saatnya aku memasuki dunia kuliah. Pertengahan 1998, aku berangkat ke kota Malang, tempat aku menimba ilmu di jurusan akuntansi selama kurang lebih empat setengah tahun. Kalau dipikir-pikir, jurusan akuntansi yang identik dengan angka-angka sesungguhnya sangat bertentangan dengan hobiku menulis, terutama menulis fiksi. Namun, siapa sangka ini adalah awal dari terbukanya pintu bagiku untuk memasuki industri perbukuan? Dosen-dosenku, para akuntan profesional itu, kebanyakan bersikeras mahasiswanya harus menggunakan literatur tertentu yang berbahasa Inggris. Dari sanalah awal mula perkenalanku dengan dunia penerjemahan buku.

Lulus kuliah, tidak seperti kebanyakan teman sealmamaterku yang memimpikan menjadi akuntan atau bekerja di perusahaan, aku justru memberanikan diri melamar menjadi penerjemah buku di sebuah translation agency di Malang. Mulailah aku berkutat dengan proyek-proyek penerjemahan buku. Kepercayaan diriku mulai tumbuh, bahwa meskipun tak memiliki background pendidikan bahasa Inggris atau sastra, aku bisa sukses di bidang ini. Beberapa bulan kemudian, aku memutuskan kembali ke rumah orangtuaku di Denpasar, dan mulai memberanikan diri melamar pekerjaan sebagai penerjemah buku di penerbit-penerbit profesional.

Suatu hari, aku mendapat email dari seseorang yang namanya tak asing lagi karena kerap mengisi rubrik kolom tentang perbukuan di harian Republika edisi Ahad. Dia adalah editor penerbit Mizan, Haris Priyatna namanya.

“Saya diminta Mbak Tutuk memfollow-up lamaran Elka menjadi penerjemah di penerbit kami,” begitu tulisnya kira-kira dalam email—kalimat persisnya aku sudah lupa.

“Btw, saya lihat di CV-nya, ternyata Elka lulusan SMA 1 Denpasar, ya?” Dia lantas mengatakan bahwa dirinya juga pernah bersekolah di SMA yang sama denganku. Tak kusangka dunia begitu sempit, dan aku bisa bertemu dengan kakak kelas sealmamater dengan cara tak terduga.

Tapi ada hal lain yang membuatku takjub. Dari beberapa kali saling berkirim email terkait lamaranku sebagai penerjemah di penerbit itu, akhirnya tersingkap fakta bahwa ternyata dia pernah tinggal di kompleks perumahan yang sama denganku! Ternyata ayahnya adalah rekan sejawat ayahku. Dan seperti halnya diriku, ternyata dulu dia pernah menjadi pengunjung setia perpustakaan itu! Perpustakaan kecil yang sangat lekat dalam memori masa kanak-kanakku yang indah dikelilingi buku-buku. Ternyata, tak hanya aku “alumnus” perpustakaan itu. Ternyata, ada orang lain yang minat baca-tulisnya tumbuh karena keberadaannya, dan kini hidup dari industri perbukuan, bahkan menjadi penulis. Subhanallah.

Aku terus bergelut dengan dunia penerjemahan buku hingga menikah dan memiliki anak. Saat sulungku berusia beberapa bulan dan membutuhkan perhatian lebih, kuputuskan untuk berhenti menjadi penerjemah. Sebagai gantinya, aku memilih putar haluan, berbisnis kue basah. Pada masa itu, aku nyaris tak pernah berurusan dengan buku lagi, waktuku habis untuk mengurus anak dan bisnisku. Namun, bisnis itu bertahan tak lebih dari setahun saja, karena saat hamil anak kedua, kuputuskan untuk berhenti.

Saat anak keduaku berusia beberapa bulan, aku mencoba bisnis lain yang pemasarannya kulakukan secara online. Lantaran harus sering berpromosi, aku mulai rajin Facebookan. Entah bagaimana awal mulanya (aku lupa), aku mulai meng-add para penulis sebagai teman di Facebook. Para penulis ini kerap meng-share info-info terkait proyek buku atau lomba menulis. Tiba-tiba saja, kerinduanku pada buku muncul kembali. Dan, sudah bisa ditebak, tiba-tiba saja aku ingin kembali pada dunia itu. Kembali pada buku. Kembali menulis.

Pada saat yang hampir bersamaan, beberapa bulan lalu, aku menemukan sebuah buku berjudul “7 Keajaiban Rezeki”. Buku paling menginspirasi yang pernah kubaca seumur hidupku, karena mengajarkanku untuk bermimpi besar plus menanamkan keyakinan dalam diri untuk mewujudkannya. Penulisnya adalah seorang pebisnis, pencipta lagu, trainer, dan … tentu saja penulis.

Aahh … semakin kuat saja keinginanku untuk kembali menulis. Apalagi saat memandangi koleksi bukuku yang telah selemari besar, tak terhitung jumlahnya. Ya Allah, kapan aku bisa menulis buku dan menginspirasi dunia seperti mereka? Sebuah impian besar yang aku yakin, suatu saat nanti akan terwujud.

***

Kini aku berdiri di sini, memandangi puing-puing kompleks perumahan yang pernah menorehkan banyak kenangan selama belasan tahun hidupku di dunia. Walaupun sangat ingin, aku enggan beranjak masuk lebih ke dalam, ke tempat perpustakaan kecil itu berada. Membayangkannya, tiba-tiba aku merasa sedih. Bagaimanakah nasibnya kini? Sudahkah rata dengan tanah, seperti halnya deretan rumah dinas ini, yang satu-persatu akan hancur digilas buldozer?

Kabarnya, lahan seluas sekian hektar ini akan dibangun hotel, mal, dan perkantoran. Semakin terasa nuansa hedonis di kota wisata ini, sebuah tempat di mana dunia buku dan komunitas penulis menjadi bagian yang cenderung terpinggirkan. Aku ingat, dulu kerap merasa kecewa saat pergi ke perpustakaan daerah dengan harapan menemukan buku-buku baru yang bisa kubaca dengan gratis. Ternyata, yang kudapati hanyalah tumpukan buku-buku tua yang telah usang dimakan usia.

Saat menuliskan ini, aku tengah membangun ukhuwah dengan saudara-saudariku pengusung da’wah bil qolam di Pulau Dewata, dan kami sedang dalam proyek penerbitan sebuah buku antologi. Hanya sebuah buku sederhana, namun kuharapkan dapat mewujudkan impian yang sempat kukandaskan dulu. Aku juga tengah menanti terbitnya tiga buku antologi yang memuat tulisanku, hasil mengikuti tiga audisi menulis di Facebook. Sebuah langkah awal yang baik kurasa, sebelum nantinya aku akan menerbitkan buku soloku, insya Allah.

Menulis adalah berbagi. Betapa kuat sesungguhnya naluri berbagi dalam diriku, berbagi dengan sesama lewat tulisan. Terbukti, ketika aku mencoba meninggalkan idealisme sebagai penulis karena tuntutan ekonomi, aku merasa ada sisi-sisi yang hilang dari diriku. Dan akhirnya selalu begitu. Ke mana pun aku melangkah, pengembaraan hidupku selalu berakhir dengan kembali pada buku.***

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Essay "Aku dan Buku" yang diadakan oleh Rafif Amir Ahnaf bekerjasama dengan Imsicx Publishing dan Toko Buku Cahaya Pustaka, Maret 2011)

1 komentar:

  1. Alhamdulillah, tulisan ini masuk nominator 23 besar, dan insya Allah akan segera dibukukan bersama karya-karya pemenang plus nominator lainnya :-)

    http://www.facebook.com/home.php?ref=hpskip#!/notes/rafif-amir-ahnaf/pemenang-sayembara-menulis-esai-aku-dan-buku/10150145455316734

    BalasHapus